loader image

Gereja Katolik Keuskupan Manado

SEJARAH
KEUSKUPAN MANADO

5 Juni 1806 terjadi sebuah peristiwa yang menyebabkan Iman Katolik bisa masuk lagi ke Indonesia, yaitu Raja Louis Napoleon (5 Juni 1806 – 1 Juli 1810), seorang katolik, naik tahta menjadi Raja Belanda. Kehadirannya mematahkan monopoli Kristen Protestan di Hindia Belanda Romo R. Kurris SJ menulis dalam bukunya “Sejarah Katedral Jakarta” Pada tanggal 8 Mei 1807 pimpinan Gereja Katolik di Roma dapat mendirikan Prefektur Apostolik untuk Hindia Belanda. Prefek Apostolik pertama diangkat Pastor Jakobus Nelissen Pr. (umur 55 tahun) yang datang ke Batavia ditemani oleh Pastor Lambertus Prinsen Pr (umur 29 tahun). Kedatangan mereka hanya terpaut 3 bulan lebih kemudian dari kedatangan Gubernur Jenderal Batavia, Herman Willem Daendels yang memberikan kesempatan yang sama baik kepada misi katolik dan zending protestan untuk berkarya di Hindia Belanda.
Walaupun begitu usaha penyebaran agama Katolik di tengah-tengah penduduk pribumi berjalan lambat dan tersendat-sendat. Belum lagi hambatan-hambatan dari pemerintah dan pihak Protestan. Situasi ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pastor Caspar de Hesselle. Pastor Caspar de Hesselle Pr, seorang imam projo dari negeri Belanda yang menjadi misionaris di Indonesia. Ia ditugaskan untuk membantu pastor Norbertus Moonen di Surabaya yang merupakan sebuah wilayah gerejani yang membawahi daerah-daerah pulau Sulawesi dan Maluku.
Awal tahun 1853, pastor Caspar de Hesselle mengunjungi Minahasa setelah mengadakan jalan dinas ke daerah Maluku, dan menemukan banyak umat Katolik hidup terpencar-pencar di sana tanpa diperhatikan imannya. Ia berhasil mendata jumlah mereka yang pada waktu itu mencapai 120 orang. Kebanyakan dari umat Katolik itu berasal dari Filipina. Tetapi pelayanannya dihalang-halangi oleh para petinggi pemerintahan dan juga pihak zending Protestan sehingga ia tidak bisa berbuat banyak bagi umatnya. Selama perjalanan dinasnya di Minahasa, ia dikawal dengan ketat. Surat tugasnya hanya meminta dia untuk mengunjungi saja orang-orang Katolik di wilayah Minahasa, dan bukan untuk mempermandikan. Pastor de Hesselle sendiri merasakan bahwa daerah ini telah dianggap milik Protestan yang sebenarnya tidak boleh didatangi oleh seorangpun misionaris Katolik. Hal itu ditampakkan, terlebih, lewat sikap para petinggi pemerintahan dan petinggi Protestan pada waktu itu.

Kunjungan pastoral kedua di Minahasa dibuat pada tahun 1861 oleh pastor Sanders dari Larantuka. Ia menemukan di ladang misi itu sejumlah besar dari orang-orang Katolik Eropa yang membiarkan anak-anak mereka dibaptis oleh pendeta karena tidak ada pastor. Kekurangan tenaga pastoral memang menjadi salah satu kendala saat itu. Sementara misi yang lebih intensif di tengah penduduk Minahasa masih tetap sulit untuk dijalankan karena masih tetap dihalang-halangi oleh pemerintah dan pihak zending. Kehadiran Gereja Katolik di Minahasa dianggap dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Memang Pada tahun 1827 pemerintah mengeluarkan aturan yang dikenal sebagai Reglement op het beleid der Regeering, 1827, art. 97, yang isinya menegaskan kebebasan setiap penduduk untuk menjalankan praktek-praktek peribadatan yang sesuai dengan agama yang diyakininya. Pada tahun 1830, ditambahkan anak kalimat “asalkan tidak mengganggu ketertiban dan keteraturan (Rust en Orde).” Alasan inilah yang seringkali dijadikan senjata untuk menghambat misi Katolik di Nusantara. Aturan dengan anak kalimat yang ditambahkan itu berlaku sampai tahun 1854. Tetapi di Minahasa, anak kalimat itu tetap dipertahankan sampai pada masa kekuasaan Residen Jallesma. Khusus untuk Minahasa, alasan lain yang dipakai untuk menghambat misi Katolik, masih sehubungan dengan rust en orde itu adalah dubbele zending. Misi Katolik seharusnya dilarang berkembang di Minahasa karena di sana sudah ada para zending yang telah lebih dahulu berkarya. Aturan ini tertuang dalam artikel 123 tahun 1854 (kemudian menjadi artikel 177, tahun 1925). Nanti pada tahun 1937 baru pemerintah menyatakan bahwa artikel itu sebenarnya tidak dapat digunakan untuk menutup daerah tertentu dari misi. Gereja Katolik harusnya menyingkir dari Minahasa.

Kontak Pertama Gereja Katolik dengan penduduk Minahasa tidak terjadi di tanah itu, melainkan di luarnya. Pada permulaan abad ke 19 banyak pemuda Minahasa yang direkrut menjadi tentara oleh pihak Hindia Belanda. Mereka tersebar hingga ke pulau Jawa. Di situlah terjadi kontak antara orang Minahasa dengan Gereja Katolik. Di Jawa ada beberapa pemuda Minahasa yang memberi diri dibaptis untuk menjadi Katolik. Salah satu alasannya adalah privelese yang ditawarkan pemerintah bagi tentara pribumi yang beragama kristen. Mereka inilah yang kembali ke Minahasa sebagai orang-orang pribumi yang sudah Katolik. Tetapi ketika mereka pulang ke Minahasa, kehidupan rohani mereka menjadi agak terhambat karena tidak ada pastor yang tinggal di sana secara tetap seperti di Jawa. Pembinaan dan pelayanan di bidang kerohanian harus menunggu perjalanan dinas dari pastor-pastor yang datang dari luar Minahasa, padahal kunjungan-kunjungan dinas pastor itu pun tidak tetap dan tidak pasti karena harus mendapatkan izin pemerintah terlebih dahulu. Sementara itu kahadiran pastor untuk mengadakan pelayanan sakramental di Minahasa semakin dibutuhkan umat karena jumlah mereka yang perlahan-lahan meningkat.
Hal inilah yang telah mendorong seorang umat Langowan, Daniel Mandagi, untuk mengirim sepucuk surat kepada Mgr. Vrancken selaku Vikaris Apostolik Batavia untuk mengirimkan seorang pastor ke Minahasa pada awal tahun 1868. Kira-kira pada tahun yang sama juga, Mgr Vrancken menerima surat lain dari komandan militer di Ambon dengan permintaan yang sama untuk daerahnya. Permintaan itu diteruskan Mgr Vrancken kepada pihak pemerintah yang mengatur perizinan jalan dinas seorang pastor. Permintaan tersebut disetujui dengan mengeluarkan surat keputusan tertanggal 1 Mei 1868. Mgr. Vrancken mengutus pastor Johanes de vries SJ untuk melakukan perjalanan dinas tersebut dengan tugas tambahan yakni mencatat jumlah umat Katolik dan menyiapkan suatu tempat yang cocok untuk menjadi stasi dan pusat misi di Minahasa. Pastor de Vries bertolak dari Batavia dan mengambil rute ke Ambon dan ke Ternate terlebih dahulu, baru kemudian pada tanggal 14 September tiba di pantai Kema. Bagi orang Minahasa sendiri, kehadiran Pastor de Vries merupakan sesuatu yang menggembirakan. Ia diterima oleh orang-orang Katolik yang telah lama menantikan datangnya seorang pelayan sakramen, tetapi juga secara tak terduga, banyak orang tua Protestan yang datang meminta permandian untuk anak-anak mereka. Setelah P. Jan de Vries mendarat di Kema, ia melakukan serangkaian kegiatan pembaptisan dan menuju Langowan dan menginap di rumah kediaman Pendeta Schapma. Hari itu juga ia bertemu dengan kepala distrik, Mayor Thomas Sigar. Pada tanggal 14 September 1868 Pastor de Vries mempersembahkan Misa Perdana di rumah kediaman pendeta Schapma dan dirangkaikan dengan pembaptisan anak Daniel Mandagi yaitu Daniel Agustinus Mandagi dan beberapa orang lainnya.
Apa yang terjadi di Langowan itu ternyata menimbulkan masalah besar di Batavia. Romo Kurris SJ juga menyebutkan peristiwa yang terjadi di Minahasa tersebut tanpa menyebutkan nama Daniel Mandagi yang mungkin tidak diketahuinya. “Hanya satu kali pertentangan memuncak yaitu pada tahun 1868. Pada waktu itu di Pulau Jawa ada agak banyak orang Minahasa yang minta dibaptis dalam Gereja Katolik; Khususnya di kota – kota garnesun ada ratusan orang Manado yang menjadi katolik. Sesudah masa dinas selesai, banyak di antara mereka pulang kampung ke ujung utara Sulawesi. Orang –orang Katolik yang baru itu bersama sisa dari umat katolik zaman dulu mengajukan permohonan supaya seorang pastor dikirim ke Minahasa; komandan militer di Ambon mengirim permintaan serupa bagi daerah Maluku. Pater De Vries lah yang ditugaskan untuk mengunjungi dan malayani umat katolik di Maluku dan Minahasa.”
Selama dua bulan berada di Minahasa ia melakukan serentetan permandian. Di Kema ia mempermandikan 66 orang dengan hanya satu saja wali baptis, di Langowan dan Kakas ia mempermandikan 12 orang, termasuk anak Daniel Mandagi, Tetengesan 21 orang, di Ratahan 80 orang, Liwutung 8 orang, Sumampan 7 orang, Kawangkoan 5 orang, Wiau, Romboken, Amurang masing-masing 1 orang. Selama dua bulan karyanya di tengah penduduk Minahasa, ia telah membaptis 254 penduduk sebagai buah-buah perdana Gereja Katolik di Minahasa. Momen itulah yang menjadi titik tolak keberadaaan Gereja Katolik di Minahasa secara khsusus dan Keuskupan Manado pada umumnya. Permandian 254 orang itu menuai badai protes dari pihak zending di Minahasa. Mereka menuduh bahwa pastor telah mengadakan propaganda yang berlebihan dan menuntutnya karena telah berani mempermandikan anak-anak yang lahir dari orang tua yang sudah Protestan. Reaksi keras juga muncul dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jendral Hindia Belanda, Mijer, menganggap bahwa pastor de Vries telah melakukan suatu tindakan bodoh yang mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat di Minahasa. Ia diminta untuk segera meninggalkan Minahasa dan dilarang untuk kembali lagi ke sana. Mgr. Vrancken juga ikut mendapat teguran keras atas masalah itu.
Keributan besar terjadi ketika ia membaptis orang di daerah Minahasa; persoalannya ialah bahwa di antara orang-orang itu ada juga anak-anak dari keluarga-keluarga protestan, yang belum atau tidak mau dibaptis oleh pendeta-pendeta. Akibat peristiwa itu, ada banyak fitnahan, petisi dan tuduhan mengalir ke meja kerja Gubernur Jendral Mijer. Ketika sebuah surat kabar di Batavia memuat sebuah karangan bernada keji, Mgr. Vrancken menghadap Gubernur Jendral untuk mohon keterangan mengenai apa yang terjadi di Minahasa. Tuan besar Mijer sudah terkenal sebagai orang yang tidak suka sama sekali dengan golongan katolik, maka Mgr. Vrancken sudah siap untuk mendengar kritik dan kemarahan dari beliau. Gubernur Jendral Mijer memuntahkan kekesalannya, “Tidak pernah saya mengalami tindakan yang lebih bodoh dan picik dari perbuatan, tuan De Vries, yang seorang Jesuit lagi!…Semua berkas resmi tentang tuan De Vries kini sedang ditangani oleh direktorat ibadat; nanti saya akan menyerahkan kepada Yang Mulia apa yang diperlukan.” Romo Curris SJ menulis, “Bagi banyak orang protesan dan liberal, kata Jesuit itu sinonim bagi kelakuan licik, lihai, dan subversif.” Memang Jesuit lahir sesudah Martin Luther dan didirikan oleh Ignatius Loyola sebagai pasukan yang memerangi protestantisme di seluruh dunia dengan ajaran katolik yang berkualitas tinggi. Jesuit mendirikan univeritas di seluruh dunia dan juga Universitas Gregoriana sebagai benteng kebenaran ajaran Gereja Katolik melawan protestantisme.
Beberapa pendeta di Minahasa ikut bereaksi dengan mempermandikan orang tanpa mempertimbangkan lagi halangan-halangan peraturan pemerintah. Bahkan di Tondano 700 orang dipermandikan hanya dalam satu hari. Pihak zending sendiri mengeluhkan peristiwa ini lewat pimpinannya di Belanda kepada Menteri Urusan Koloni dengan maksud supaya daerah Minahasa memang sungguh-sungguh ditutup untuk Gereja Katolik. Keluhan itu disikapi dengan bijaksana oleh Menteri Urusan Koloni dengan tetap berprinsip pada Undang-undang Kebebasan Beragama. Reaksi berbeda diungkapkan pula oleh salah seorang pendeta Heervormde Kerk dari diakonat Batavia, Ds. J. T. Schuurman. Menurutnya, bila pekerjaan pastor de Vries telah menimbulkan keresahan sedemikian besar, hal itu sebenarnya membuktikan bahwa kinerja misionaris-misionaris zending di Minahasa belum maksimal. Akhirnya Dewan Gereja Protestan Hindia Belanda dan Dewan Penasehat Gubernur Jenderal tidak melihat suatu alasan apapun untuk menegur pastor de Vries. Tetapi demi menjaga kemanan dan ketertiban di Minahasa, ia tetap ditarik dari sana.

Akibat peristiwa di Minahasa yang dilakukan oleh Pastor Jan de Vries itu, maka selama 5 (lima) tahun kemudian tidak diberikan izin lagi oleh Gubernur Jenderal di Batavia bagi imam untuk berkunjung di Minahasa. Uskup Vrancken yang menurut tulisan Steenbrink mempunyai sifat yang halus dan pemalu tidak berani lagi meminta izin. Nanti penggantinya, menurut Steenbrink, Mgr. Claessen pada tahun 1873 berani meminta kepada pemerintah bukan hanya izin untuk berkunjung ke Minahasa, melainkan juga biaya perjalanan bagi Pastor Metz dari Laratuka. “Pastor Metz tidak hanya bertemu dengan dua orang katolik bangsa Eropa di Manado, tetapi juga dengan sekitar 200 orang katolik di Minahasa pada waktu itu.” Di Ratahan, mereka yang sudah dipermandikan, telah meninggalkan agama Katolik; tetapi di daerah seperti Langowan, Kakas, dan Manado telah terbentuk kelompok-kelompok umat. Setidaknya itulah yang ditemukan oleh pastor Goerge Metz SJ ketika mengunjungi Minahasa pada tahun 1873.
Sebelumnya pastor Metz berkarya di Flores. Di Minahasa pastor Metz tidak mendapatkan halangan yang berarti karena ia sendiri bersikap hati-hati dengan pihak zending. Namun ia cukup terkejut karena ada cukup banyak orang Protestan yang minta dipermandikan Katolik. Karena ia masih ragu dengan alasan mereka, banyak di antaranya tidak diterima. Tetapi ia melihat bahwa pembentukan stasi baru di Manado harus sesegera mungkin dilaksanakan.

Sejak tahun 1874 hingga tahun 1882 Minahasa mendapatkan kunjungan rutin tahunan dari pastor Jan van Meurs SJ dari Surabaya. Akhirnya Manado dianggap sebagai sebuah stasi yang berada di sebelah utara Surabaya yang mendapat kunjungan setahun sekali dari pastor paroki di sana. Pada perjalanan dinas pertama ke Minahasa tahun 1874 Jan van Meurs menemukan 265 penduduk asli yang beragama katolik dan ia membaptis 48 baptisan baru dan kebanyakan anak-anak. Ia mengangkat dua orang katekis dan diberikan gaji 12.50 gulden sebulan. Dua orang katekis itu barangkali mantan protestan dan mengajar dengan menggunakan sebuah buku kecil yang berisi ringkasan cerita-cerita Injil. Guru-guru sebagai katekis dengan tugas mengumpulkan umat di hari-hari tertentu untuk doa dan katakese. Tetapi karya mereka dihambat lagi oleh residen Manado yang menyita buku-buku pelajaran agama dan kitab suci.
Dalam kunjungan pastoral selanjutnya tahun 1875 – 1876, pastor van Meurs telah mempermandikan penduduk pribumi di Tomohon yang terkenal sebagai pusat zending Protestan dan membeli sebidang tanah di Paslaten yang nantinya akan dibangun gereja. Residen Manado yang baru, S.J.C.W. van Musschenbroek yang menjabat sejak tahun 1875 bersikap simpatik terhadap Gereja Katolik sehingga ia mengizinkan pengangkatan para katekis dan pembukaan sekolah katolik di Tomohon dan Kakaskasen pada tahun 1876, dan ditambah lagi dua sekolah di Tara tara dan Tombulan (Tombuluan?). Umat katolik bertambah dengan cepat. Pada tahun 1875 ada 300 orang; dan 1877 sudah menjadi 740. Pada tahun 1880, uskup Claessen memperkirakan jumlah umat katolik pada saat itu sekitar 2500 umat dan orang protestan berjumlah 90.000 an. Pater van Meurs begitu menekankan pentingnya persiapan bagi seorang katekumen dan menggembleng para katekis dalam bidang pengetahuan agama. Mereka bertugas untuk memimpin doa pada hari Minggu, mengunjungi orang-orang sakit, menjadi pendamai dalam perselisihan-perselisihan, dan memberantas praktek-praktek takhayul. Untuk menunjang semua karya misinya, ia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak yang Katolik di Tomohon, Kakaskasen, Tombuluan dan Tara-tara.
Kembali, pada tahun 1880 Mgr. Claessens mengurus izin untuk mendapatkan pastor tetap di Manado, tetapi muncul pula kesulitan lain. Gubernur Jenderal Lansberge mengatakan bahwa situasi politik di Minahasa tidak menjamin keamanan untuk pembentukan sebuah stasi tetap. Tetapi ia mengijinkan perjalanan dinas ke daerah itu lebih dari sekali setahun dengan biaya dari pemerintah. Hal ini dikabulkan, dengan catatan bahwa pastor hanya membatasi kunjungannya pada umat Katolik saja. Bahkan catatan pembatasan kunjungan pastor itu diperluas oleh Residen Manado sampai pada larangan mengunjungi penduduk pribumi yang masih tetap animis. Kunjungan pastor van Meurs sejak tanggal 30 Juli sampai 12 September 1880 dan segala gerak-geriknya diawasi oleh para kepala distrik sebagai perpanjangan tangan pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1881 van Lansberge menyerahkan jabatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda kepada F. s’Yakob. Perubahan yang diharapkan Gereja tampaknya mendapatkan peneguhan pada kebijakan politik orang ini. Setidaknya hambatan-hambatan menyangkut perizinan jalan dinas pastor ke Minahasa dari Gubernur Jenderal untuk sementara waktu ditangguhkan. Pastor van Meurs mendirikan sekolah lagi di Sarongsong dan Tanahwangko. Demikian pula pada perjalanan dinasnya pada tahun 1882, pastor van Meurs mendapatkan izin untuk boleh berkarya di tengah penganut animis dan islam, tetapi tetap tidak bisa berkarya di tengah orang yang sudah memeluk agama Protestan. Persoalan sebelumnya muncul lagi: bagaimana dengan orang Protestan yang telah menjadi katekumen di Gereja Katolik? Mgr. Claessens menyuruh pastor melakukan percobaan dengan mempermandikan beberapa orang katukemen yang bekas Protestan. Pastor pun mempermandikan 14 orang bekas Protestan di Tomohon, beserta beberapa yang lain dari agama animis bersamaan dengan pemberkatan Gereja mereka di Paslaten. Sementara ada banyak orang dari Protestan yang hendak masuk Katolik masih harus menunggu lagi. Mereka menangis kecewa, bahkan ada yang marah-marah dan protes kepada pastor karena tidak mengerti mengapa ia melakukan itu. Di sisi lain, peristiwa permandian itu membuat residen Manado naik pitam dan menyuruh pastor berhenti dari jalan dinasnya serta segera kembali saja ke Surabaya. Pastor mencoba untuk protes, tetapi tidak dihiraukan. Perjalanan dinas selanjutnya harus diserahkan kepada pastor lain karena residen menolak untuk menerima lagi kehadiran pastor van Meurs di wilayah kekuasaannya. Pemerintah menanggapi hal itu dengan menegaskan bahwa semua orang kristen dalam residensi Manado, Ternate dan Ambon bila hendak pindah Gereja harus mendapatkan surat keterangan dari pemimpin Gereja setempat bahwa keputusannya itu diambil tanpa paksaan atau dipengaruhi oleh siapapun. Dalam sembilan kali perjalanan dinasnya ke Minahasa pastor van Meurs telah mempermandikan 2.875 orang, baik dari agama alifuru maupun Protestan yang beberapa di antara mereka dipermandikan dengan permandian sub conditione; baik anak-anak maupun orang dewasa.

Tahun 1883 untuk menggantikan pastor van Meurs, seorang pastor paroki di Sikka, Flores bernama pastor Le Cocq d’Armandville diminta oleh Mgr. Claessens untuk mengunjungi Minahasa. Ia mendapat tugas untuk menggantikan P. Jan van Meurs SJ sebagai pastor yang berkeliling ke daerah pulau-pulau sebelah utara Surabaya. Hal itu dimungkinkan karena dikeluarkannya sebuah surat izin atau dekrit (briefjesbesluit) dari pemerintah Belanda. Meskipun urusan surat-surat tersebut sedikit banyak menjengkelkan para zending namun hal itu tidak membuat bentrokan seperti waktu-waktu sebelumnya. Satu kali saja pastor ditantang oleh sorang pendeta. Demikian juga dari pihak pemerintah, pastor Le Cocq tidak mengalami hambatan berarti. Mungkin karena nama besar d’Armandville itu juga yang membuat Mgr. Claessens menunjuknya ke Minahasa.
Pada 13 Juni Cornelis Yohan Le Cocq tiba di Manado dan langsung menghadap Residen Manado. Banyak orang Protestan yang hendak pindah ke Gereja Katolik sudah menanti-nantikan kedatangan pastor dengan surat-surat keterangan pindah agama di tangan mereka. Malahan terjadi di Tomohon, seorang pembantu pendeta manulis 60 surat hanya dalam satu hari. Di Langowan pastor Le Cocq terpaksa menegur seorang pembantu pendeta yang memerlukan setengah hari untuk mengeluarkan 6 surat keterangan saja. Pada tahun 1883, Le Cocq membaptis 323 anak-anak dan 421 orang dewasa. Tahun berikutnya, bulan Agustus – November 1884, Le Cocq membaptis 237 anak – anak dan 337 orang dewasa.
Menurutnya Minahasa merupakan ladang yang subur yang harus terus dikembangkan. Umat di sana bersemangat, demikian juga dengan usaha dan karya yang besar dan berat dari para katekis awam. Semua itu dihargainya. Hanya saja menurutnya, pengetahuan umat di Minahasa tentang agama masih kurang. Masalah itu hanya bisa dipecahkan apabila Minahasa telah mendapatkan seorang pastor tetap yang berdomisili di tengah umatnya.
Karena itu dalam perjalanan dinas tahun 1883 ini Pastor Le Cocq membeli sebidang tanah di Tomohon dari keluarga Residen Lukas Wenas antara lain yang sekarang ini adalah kompleks Gereja dan biara JMJ Walterus. Motor penggerak perkembangan umat katolik di Minahasa adalah tokoh awam sendiri yang disebut penghulu dan jaga agama. Pada tahun 1884 itu terdapat 4 penghulu dan 45 jaga agama. Jaga agama adalah pemimpin umat setempat. Para pemimpin umat itulah yang kemudian memungkinkan perkembangan umat sampai mencapai 4000 orang pada tahun 1884 menurut perkiraan P. Le Cocq d’Armandvillle SJ.
Pada tanggal 26 April 1886 Gubernur Jendral van Rees menandatangani sebuah keputusan yang lebih mengungtungkan lagi bagi umat katolik karena keputusan itu bukan hanya memberikan izin untuk memperbolehkan imam katolik mengunjungi Minahasa setiap tahun satu kali, melainkan sebuah izin untuk menetap di Manado. Pada bulan Juni 1886 Pastor Bernardus Mutsaers menetap di Manado, dan kemudian pada tahun 1888 datanglah temannya untuk bergabung yaitu Pastor A. Bolsius. “Tahun 1889 P. Mutsaers berangkat meninggalkan Manado dan P. A. Bolsius menggantikannya, ia tinggal di Tomohon. Tahun 1891 Gereja pertama di Tomohon diberkati.”

Pada tanggal 26 April 1886 Gubernur Jenderal Otto van Rees mengeluarkan izin untuk mendirikan stasi Manado. Wilayahnya mencakup keresidenan Manado, Ambon dan Ternate. Pastor Bernardus Mutsaers, SJ ditunjuk untuk menggembalakan umat di stasi baru ini. Pastor Mutsaers, setahun sebelumnya, telah menggantikan tugas pastor Le Cocq untuk mengadakan jalan dinas di Minahasa. Syarat-syarat yang sebelumnya begitu memberatkan karya misi pun dihapuskan oleh Gubernur Jenderal. Pastor Mutsaers langsung mencurahkan tenaga bagi umat di wilayahnya. Ia memperdalam pengatahuan para guru agama dan katekis dan mengontrol karya mereka. Kunjungan dinas dan pelayanan sakramental untuk umat di seluruh pelosok Minahasa dilakukan lebih sering dari sebelumnya. Tetapi pastor juga menyediakan waktu untuk mengadakan jalan dinas ke bagian lain wilayah stasinya yakni Ambon dan Ternate. Perjalanan dinas ke daerah itu memakan waktu kurang lebih tujuh hingga delapan minggu.
Pada bulan Juli 1889 pastor A. Bolsius datang ke Minahasa dan oleh Residen Manado diakui sebagai pastor pembantu di stasi Manado. Pastor Bolsius menetap di Tomohon yang pada waktu itu telah memiliki jumlah umat yang mencapai 700 orang, sedangkan jumlah umat di Manado sebagai pusat kegiatan misi di Sulawesi Utara dan Maluku berjumlah kurang labih 150 jiwa penduduk asli. Tidak sedikit usaha dan tenaga yang dicurahkan dalam rangka mendirikan stasi Manado, terlebih karena tantangan dan hambatan yang dihadapi dan masih terus akan dihadapi oleh misi Katolik. Oleh karena itu pembentukan stasi Manado disambut dengan gembira oleh pimpinan dan umat Gereja Katolik di Nusantara, terlebih khusus umat yang ada di Minahasa sendiri, karena bagi mereka dalam tataran ideal, dengan pembentukan stasi baru dan penempatan seorang pastor tetap, pengenalan dan penghayatan misteri-misteri iman akan lebih terbantu dan terarah. Tetapi lebih daripada itu, rasa gembira itu dilandasi oleh semangat kebanggaan diri karena boleh memiliki pastor sendiri di wilayah mereka, dan itu berarti status mereka sebagai sebuah aliran kekristenan “baru” di Minahasa mendapatkan pengakuan dari pemerintah.
Tetapi hambatan datang lagi dari pemerintah. Sejak tahun 1861 pemerintah telah mengeluarkan peraturan no. 38 tahun 1861 tentang pencatatan sipil. Undang-undang itu menyatakan bahwa semua pernikahan, entah kristen, alifuru ataupun campuran harus melalui pencatatan sipil supaya mendapatkan legitimasi hukum. Itu berarti keluarga yang tidak tercatat dalam pencatatan sipil tidak mendapatkan hak-hak sipil, demikian pun anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga seperti itu. Di tarik lebih jauh, para misionaris – Protestan ataupun Katolik, dilarang untuk membaptis anak-anak yang seperti itu karena mereka tidak mendapatkan hak-hak sipil. Tetapi pastor Mutsaers memiliki pertimbangan lain. Kepada para mempelai ia anjurkan untuk menghadap kontrolir terlebih dahulu, tetapi seandainya hal itu sulit, mengingat di Minahasa hanya terdapat lima kontrolir yang berdomisili di kampung-kampung besar tertentu, perkawinan adat toh tetap dapat diberkati di dalam Gereja. Sejak pastor de Vries berkarya di Minahasa, praktek ini sudah dijalankan dan terus berlangsung, hingga tahun 1889. Tetapi pendeta Louwrier dari Tomohon memprotes lagi dan mengadukan kepada pemerintah bahwa pastor telah melanggar aturan tahun 1861 itu. Demi kelancaran karya misi di Minahasa, terpaksalah pastor mengalah. Di pasar-pasar pemerintah mengumumkan bahwa semua perkawinan tanpa pengesahan kontrolir yang diberikan oleh pastor Mutsaers tidak sah, sedangkan anak-anak yang telah lahir dari perkawinan itu tidak mendapatkan efek-efek sipil sebagaimana mestinya.
Setelah peristiwa itu, untuk sementara waktu pastor Mutsaers bisa menjalankan misi Gereja tanpa hambatan yang berarti dari pihak pemerintah dan zending. Dengan mempertimbangkan keadaan umat Katolik di Minahasa, pada tahun 1889 pemerintah mengabulkan permohonan tambahan pastor untuk stasi Manado. Pastor A. Bolsius SJ, dalam bulan Juli tahun itu juga diangkat menjadi pastor pembantu untuk stasi Manado. Atas rekomendasi dari residen M. C. E. Stakman, pastor itu boleh menetap di Tomohon untuk melayani wilayah itu dan sekitarnya. Sejak itu juga wilayah misi Gereja mulai dibagi dua demi efisiensi karya pelayanan; wilayah Manado dilayani oleh pastor Mutsaers membawahi daerah Kembes dan seluruh pakasaan Tonsea, sementara wilayah Tomohon yang dilayani oleh pastor Bolsius membawahi daerah Langowan, Kakas, Sonder, Tombariri, dan daerah sekitar Tomohon seperti Kakaskasen, Taratara dan Woloan. Tetapi pembagian ini hanya bersifat kebijakan pastoral saja. Pembagian wilayah kerja ini kemudian digugat oleh Residen Jallesma. Menurutnya, pastor-pastor itu dan juga Vikaris Apostolik telah melanggar aturan pemerintah. Ia menuduh bahwa Gereja Katolik telah membangun stasi baru di Minahasa tanpa sepengetahuan pemerintah. Menurutnya para pastor itu hanya diberikan izin untuk jalan dinas ke Tomohon dengan biaya dari pemerintah dan bukan untuk menetap di sana.
Memang sejak tahun 1888 Mgr. Staal telah menugaskan pastor Mutsaers untuk meminta izin kepada Residen Manado waktu itu bagi rencana membuka stasi kedua di Tomohon. Hasil pembicaraan itu tidak diketahui apa. Yang pasti bahwa Residen Stakman yang menggantikan van de Wijk telah berjanji untuk menyampaikan itu kepada pemerintah di Batavia dan pastor diminta untuk menunggu saja berita selanjutnya. Kemudian, atas rekomendasi Residen Stakman, pemerintah Batavia mengeluarkan izin tinggal untuk pastor di Tomohon pada bulan Juli 1889. Karena izin itu jelas bukan untuk mendirikan stasi, pastor pun menjalankan kebijakan pastoral sebagaiamana yang diizinkan oleh keputusan pemerintah. Dalam hal ini, kebijakan pastor untuk membagi wilayah kerja masih berada dalam batasan yang diberikan izin tersebut, sehingga tidak benarlah tuduhan tersebut. Jallesma kemudian mengatakan bahwa tindakan mengizinkan pastor tinggal di Tomohon itu adalah salah satu kealpaan pemerintah.
Melihat sepak terjang tuan Residen yang mencemaskan itu, pastor meminta supaya Vikaris Apostolik, mengurus perizinan tinggal itu langsung ke Batavia. Mgr. E. S. Luypen SJ mencobanya pada tahun 1900. Kepada pemerintah ia menjelaskan duduk perkara yang dikeluhkan oleh Residen Jallesma. Meskipun ia mendapat teguran, namun pemerintah menanggapi postif usulan penambahan satu stasi lagi di Minahasa asalkan diurus sesuai hukum dan tetap mempertimbangkan situasi setempat. Pada tanggal 14 Januari 1902 pastor pembantu yang telah beberapa tahun bekerja di Tomohon mendapatkan izin tinggal resmi sesuai surat keputusan Residen.
Karena sakit matanya yang bertambah parah, pada bulan Januari tahun 1895, pastor meninggalkan Minahasa dan pulang ke Belanda untuk berobat. Ia digantikan oleh pastor P. A. Wintjes SJ yang berada di Minahasa sejak 27 November di tahun itu. Setelah mengurus izin kerjanya kepada Kontrolir di Tondano, pastor langsung tinggal di Tomohon. Dalam tahun 1895 itu juga pastor Mutsaers juga berpindah tempat tugas ke Medan dan digantikan oleh pastor Condorver SJ. Pada tahun 1896, pastor J. Onel SJ datang ke Manado. Beliau inilah yang menjadi pastor keliling untuk seluruh wilayah stasi Manado pada tahun itu. Dalam bulan Maret 1898 stasi Manado boleh bergembira karena mendapatkan tambahan imam lagi yatu pastor A. P. F. van Velsen SJ. Pastor van Velsen tinggal dan membantu pastor Wintjes di Tomohon. Karyanya sangat besar bagi perkembangan umat Katolik di Minahasa dan bahkan juga untuk Keuskupan Manado.
Melihat perkembangan iman Katolik di tanah Minahasa yang begitu subur meskipun begitu banyak pula hambatan dan tantangan, Vikaris Apostolik merasa harus mengadakan kunjungan pastoral ke tanah ini. Rencana ini sudah dibuat sejak Mgr. Staal SJ. Rencananya, pada tahun 1897 dalam kunjungan pastoralnya ke bagian Timur Nusantara itu ia akan singgah juga di stasi Manado setelah mengunjungi perairan Maluku. Tidak disangka beliau yang pada waktu itu telah sakit, meninggal dunia di atas kapal dalam perjalanan menuju Ambon. Rencana kunjungan pastoral ini diteruskan oleh Mgr. E. S. Luypen SJ. Dalam tahun 1900 Beliau sudah minta izin kepada Gubernur Jendral untuk mengunjungi Minahasa, tetapi atas rekomendasi Jallesma, Residen Manado, rencana itu harus dibatalkan. Alasan yang diajukan oleh Jallesma adalah menyangkut “situasi khas Minahasa” yaitu karena kehadiran seorang Uskup Katolik di Minahasa yang merupakan “Negara Protestan” akan menimbulkan huru-hara dan pertumpahan darah. Tentu saja Vikaris Apostolik protes dengan keputusan pemerintah itu, tetapi apa boleh buat, hak perizinan ada di tangan pemerintah dan Uskup harus tunduk pada aturan itu. Beliau memang mendapatkan izin untuk mengadakan kunjungan apostolik kepada umat Katolik, tetapi tidak untuk mereka yang di Minahasa. Menteri Urusan Koloni pada tahun 1903 sempat mengintervensi kebijakan Gubernur Jenderal, tetapi belum membawa hasil yang positif. Nanti pada tahun 1905, setelah Jallesma digantikan oleh J. van Hengel, Vikaris Apostolik mendapatkan rekomendasi untuk mengunjungi umatnya di Minahasa. Kedatangan Mgr. Luypen membawa sukacita yang besar dan disambut dengan antusias, bukan saja dari kalangan umat Katolik, tetapi juga umat Protestan. Apa yang dikatakan oleh Jallesma tentang pertumpahan darah itu sungguh tidak terjadi. Dalam kunjungan apostoliknya itu, Mgr. Luypen menerimakan juga Sakramen Krisma untuk 1074 umat Katolik. Kunjungan kedua pada tahun 1909 beliau juga telah menerimakan Sakramen Krisma bagi 1000 orang. Kerja sama yang digalang oleh masyarakat Minahasa dalam menyukseskan kunjungan Vikaris Apostolik itu sungguh mencengangkan pemerintah Belanda.
Selain itu pada tahun yang sama juga, residen Manado telah mengizinkan terbentuknya stasi ke tiga di Minahasa yakni Woloan dengan A. P. F. van Velsen SJ sebagai pastor tetapnya. Sebelumnya, pada tahun 1902 Tomohon telah diresmikan menjadi stasi otonom setelah semua urusan yang menyangkut perizinan diurus tuntas, hal mana telah dijanjikan oleh Gubernur Jenderal van der Eijk kepada Mgr. Luypen. Kabar gembira yang besar pada tahun-tahun itu tidak datang dari dua peristiwa itu saja, tetapi terutama datang dari residen sendiri yang berjanji akan memperlakukan orang Katolik sama dengan orang Protestan, dan sebagai pembuktiannya, sejak tahun 1905 guru-guru Katolik juga mendapatkan gaji dari pemerintah.
Menjelang tahun 1910 jumlah umat Katolik di Minahasa sudah mencapai 10.000 orang yang tersebar di sebagian besar perkampungan orang Minahasa. Wilayah-wilayah seperti Tomohon, Woloan, Kembes, dan Laikit menjadi tempat-tempat konsentrasi umat Katolik. Para pastor telah berjumlah 6 orang. Namun usaha untuk menumbuhkan iman itu tidak berhenti sampai di situ saja. Sekolah-sekolah baru terus diupayakan, tetapi juga guru-guru yang bermutu terus dipersiapkan di Kweekschool Woloan. Kedatangan para suster JMJ pada tahun 1896 juga sangat membantu karya misi di tengah orang Minahasa. Mereka mendirikan sekolah-sekolah puteri dan juga membuka klinik-klinik pengobatan yang melayani semua penduduk. Meskipun masih ada juga tantangan dan hambatan yang datang, baik dari pemerintah, maupun kesulitan-kesulitan lain yang ditemukan dalam karya Gereja itu sendiri.

Sementara itu, para pastor Jesuit yang berkarya di stasi Manado dan Tomohon ini juga tetap berusaha memelihara perkembangan umat Katolik di kampung-kampung terjauh orang Minahasa, meskipun jumlah umatnya sedikit. Dengan pembagian wilayah kerja pastoral di atas, juga dengan penambahan tenaga imam, umat Katolik yang tersebar di Minahasa dapat dilayani dengan lebih efektif. Memang pada akhir abad ke 19 sampai permulaan abad 20 hanya di kampung-kampung yang memiliki banyak umat Katolik saja yang selalu diadakan perayaan Ekaristi, seperti di Tomohon, Woloan dan Manado. Umat Katolik di luar wilayah itu tetap mendapatkan jatah kunjungan pastor sesuai jadwal yang telah dibuat.
Di Manado sampai tahun 1886 terdapat kurang lebih 150 orang penduduk pribumi yang Katolik. Pada tahun 1890 diberkati sebuah gubuk berukuran 5,5 x 7,5 meter sebagai Gereja Manado. Tetapi juga perkembangan umat di Tomohon semakin pesat. Dalam tahun 1886 di Tomohon sudah ada sekitar 700 orang Katolik, belum termasuk wilayah Kakaskasen dan Sarongsong yang memasuki tahun 1890-an sudah memiliki sekitar 600 orang Katolik, dan Woloan yang hampir berjumlah 200 orang. Dengan jumlah yang sedemikian besar di wilayah Tomohon, pantaslah bagi umat Katolik itu meminta kehadiran seorang pastor tambahan untuk melayani umat. Tahun 1902 Tomohon resmi menjadi sebuah stasi otonom, disusul oleh Woloan pada tahun 1903, mengingat lokasinya yang menjadi pusat pendidikan para guru Katolik. Dengan terbentuknya stasi-stasi otonom ini serta juga peningkatan jumlah imam, banyak wilayah-wilayah lain di Minahasa dapat terlayani dengan lebih efisien.
Di Kembes, umat yang telah dipermandikan oleh pastor van Meurs sejak 7 Agustus 1887 terus berkembang. Di sana didirikan juga sekolah untuk menunjang pendidikan bagi penduduk. Sempat juga didirikan sebuah sekolah guru di Kembes oleh pastor van Velsen, dengan metode yang sama yang dibuatnya di Tomohon, tetapi sekolah guru itu tidak bertahan lama dan akhirnya disatukan dengan Kweekshcool Woloan. Di Tombuluan, umat juga semakin berkembang. Di sana ada sekolah misi yang didirikan oleh pastor van Meurs dan termasuk salah satu sekolah perdana yang didirikan oleh misionaris itu di Minahasa. Setelah Manado menjadi stasi tetap, khususnya setelah pastor Bolsius menetap di Tomohon, wilayah Kembes ini menjadi bagian dari rute jalan dinas pastor Mutsaers dari Manado.
Di Kema, sejak permandian perdana tanggal 14 September 1868, umat Katolik terus tumbuh walaupun perlahan-lahan. Pastor dari Manado bertugas juga untuk mengunjungi dan memberikan pelayanan rohani bagi umat di desa ini. Dari desa pula iman Katolik mulai disebarkan, antar lain ke Lembean, Kauditan dan Aermadidi dan ke arah Utara dengan membuka perkampungan baru seperti Manembo-nembo. Di Laikit, umat Katolik yang telah terbentuk sejak tahun 1878 dilayani oleh pastor dari Manado. Permandian pertama orang-orang dari Laikit ini terjadi di Paniki yang pada masa itu masih merupakan bagian dari wilayah perkebunan orang Laikit. Permandian itu masuk dalam buku paroki Laikit. Di desa Laikit sendiri, permandian Katolik terjadi pada tahun 1908. Sementara itu, untuk wilayah Langowan yang sudah ada orang Katolik sejak tahun 1868 yang dibaptis oleh pastor De Vries. Salah satunya adalah putera dari Daniel Mandagi, seorang pensiunan tentara yang berkirim surat kepada Mgr. Vrancken untuk meminta pelayanan seorang pastor Katolik bagi umat yang ada di Minahasa. Wilayah Langowan selanjutnya dilayani oleh pastor dari Tomohon. Demikian juga dengan umat Katolik di Kakas, Sonder, dan wilayah di sekitarnya.
Umat Katolik di Sarongsong terbentuk sejak dibaptisnya beberapa orang dari kampung tersebut oleh pastor van Meurs di Manado pada tahun 1875. Perkembangan umat di Sarongsong cukup bagus, sehingga dalam kunjungannya pada tahun 1881 pastor van Meurs mendirikan sebuah sekolah di sana. Setelah terbentuknya stasi Manado dengan penambahan jumlah pastor tetap, umat di Sarongsong dilayani oleh pastor dari Tomohon. Dan setelah terbentuknya stasi kedua di Tomohon, pendampingan terhadap perkembangan umat di desa ini semakin optimal mengingat letak kampungnya yang berdekatan dengan pusat stasi kedua di Minahasa itu.
Umat Katolik di Tara-tara sudah ada sejak tahun 1876. Pada waktu itu pastor van Meurs datang ke sana untuk mempermandikan satu keluarga yang sebelumnya sudah mendapatkan pengajaran agama dari guru agama Kornelis Langitan dari Tomohon. Kedatangan pastor van Meurs pada tahun berikutnya disambut dengan permintaan besar dari penduduk untuk dibaptis Katolik. Pada tahun 1978 ada sekitar 100 orang yang dibaptis di Taratara, padahal pastor hanya datang untuk memberkati pernikahan. Karena pesatnya pertumbuhan umat di Taratara maka sejak tahun 1877 pastor mendirikan sekolah di situ dan menjadi salah satu sekolah Katolik pertama yang didirikan oleh pastor van Meurs.
Demikian juga dengan umat Katolik yang ada di Kakaskasen. Sejak tahun 1875 sudah ada umat Katolik di Kakaskasen. Perkembangan itu terus berjalan mengingat letaknya yang berada dijalur jalan dinas utama para pastor yang berkunjung di Minahasa. Bahkan pastor van Meurs juga telah mendirikan sekolah di sini sejak tahun 1877, atau sama umurnya dengan sekolah yang ada di Tomohon, Tombuluan dan Taratara. Umat di sini pun semakin berkembangnya dengan terbentuknya stasi kedua di Tomohon.
Sedangkan daerah Tombariri juga sudah memiliki umat Katolik sejak tahun 1875. Perkembangan umat Katolik di daerah ini terjadi antara lain karena munculnya perkampungan-perkampungan serta pembukaan banyak kebun-kebun baru yang dilakukan orang-orang Tombulu dari sekitar Tomohon. Selain itu, dengan terbentuknya stasi Tomohon, dan juga kemudian Woloan, ada cukup banyak pastor yang datang mengunjungi wilayah ini. Perkembangan umat di wilayah ini cukup pesat seiring dengan semakin terbukanya wilayah perkebunan di bagian Barat Daya Gunung Lokon ini.
Jumlah umat Katolik di kampung-kampung di atas memang tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan di daerah Tomohon, yang menjelang akhir abad ke 19 menjadi salah satu pusat administrasi Katolik, atau juga dengan jumlah jemaat Protestan yang telah menjadi kaum mayoritas di tanah Minahasa. Alasan utamanya adalah karena walaupun telah terbentuk stasi Manado, dan beberapa stasi lain yang menyusul, namun masalah kekurangan imam masih menjadi kendala utama. Umat di setiap kampung itu terus berkembang dan menentukan dinamika pertumbuhan Gereja, dan walaupun tenaga pastor telah diusahakan untuk terus ditambah namun tetap tidak mengimbangi kebutuhan tenaga pastoral. Untuk memecahkan hal itu, para misionaris, sejak masa pastor De Vries, telah menggalakkan kepemimpinan awam, tentunya dengan mempersiapkan mereka secukupnya lewat kursus-kursus dan juga buku-buku pengetahuan agama Katolik serta latihan-latihan kepemimpinan liturgis dan doa-doa. Meskipun begitu, pertumbuhan umat di desa-desa lain tersebut terus mendapatkan perhatian dari para gembalanya yang mengadakan kunjungan satu atau dua bulan sekali. Hal ini masih lebih baik dibandingkan dengan masa sebelum terbentuknya stasi Manado, yang hanya mengharapkan datangnya kunjungan pastor dari Batavia dan dari Surabaya.

Berdasarkan ketetapan Paus Benedictus XV di Roma, de jure mulai tanggal 19 April 1919 daerah misi di Sulawesi dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan diserahkan kepada tarekat MSC. Pembicaran tentang itu memang sudah dimulai sejak tahun 1916 karena mempertimbangkan perkembangan umat yang pada tahun-tahun itu sudah mencapai kurang lebih sebelas-ribuan orang. Selain itu, sejak tahun 1903 tarekat MSC telah memulai karya mereka di bagian Timur Indonesia dengan persediaan tenaga pastoral yang cukup memadai.
Sambil menanti kesiapan yang matang dari para misionaris Hati Kudus, pastor van Velsen diangkat menjadi Prefek Apostolik sementara, menggantikan Mgr. G. Vesters MSC yang masih berkarya di Brasil, dan menjadi kepala di daerah misi Sulawesi. Pastor van Velsen pada waktu itu memilih Tomohon sebagai tempat tinggalnya. Sampai tahun 1919 di Minahasa terdapat enam orang misionaris Yesuit lain yang masih berkarya, yang tersebar di ketiga stasi tetap yakni Manado, Tomohon, dan Woloan. Dua orang pastor Yesuit ditempatkan di Woloan sebagai tenaga pengajar di Kwekschool, dan seorang pastor bertugas untuk jalan dinas keliling mengunjungi umat yang tersebar di Minahasa.
Dengan terbentuknya Prefektur Apostolik Sulawesi dan diserahkannya wilayah itu kepada para Misionaris Hati Kudus maka Gereja Katolik Minahasa, dan Keuskupan Manado pada umumnya, memasuki suatu tahap baru dalam perjalanan dan perkembangan historisnya yang juga telah ikut serta menambah kekhasan pada proses perjalanan Gereja Katolik di Minahasa.

Kalau melihat surat keputusan dari Bapa Suci, maka tahun 1919 MSC sudah diserahi tugas itu. Namun kalau melihat kenyataannya, maka nanti ada tanggal 2 September 1920, Trio MSC pertama baru tiba di Manado. Tiga MSC pertama yang datang ke Manado adalah Mgr. Dr. G.J Vesters, MSC sebagai Prefek Apostolik; A. Bröker MSC dan J. Klemman, MSC dan mereka disambut oleh Pastor Anton van Velsen SJ dan Pastor Serink SJ. “Selasa, 2 September 1920 Mgr. Vesters dilantik di Tomohon dengan Misa Pontifikal. Hadir 6 pastor SJ, para suster JMJ dan umat.” Pastor Jan lupa menyebutkan 2 pastor MSC yang pasti hadir juga di dalam perayaan Ekaristi itu. Setelah tiga MSC mengambil alih tugas enam Jesuit, maka untuk sementara waktu Mgr. Vesters tinggal di Woloan untuk melanjutkan segala karya yang ditinggalkan oleh P. van Velsen. P. Bröker dan P. Klemann tinggal di Tomohon untuk mempelajari bahasa Tombulu. Tarekat MSC mencari tambahan tenaga untuk daerah misi baru ini dan mereka mencarinya di Belanda dan Jerman dan pada tanggal 21 April 1921 tibalah P. H. Croonen; P. H. Kapell (Jerman) dan P. H. Humburg (Jerman). Dengan tambahan 3 tenaga ini, maka genaplah 6 MSC menggantikan 6 Jesuit.
Gelombang kedatangan para anggota tarekat MSC menurut catatan P. M. Stigter MSC

  1. Tanggal 2 September 1920, Trio MSC pertama baru tiba di Manado. Tiga MSC pertama yang datang ke Manado adalah Mgr. Dr. G.J Vesters, MSC sebagai Prefek Apostolik; A. Bröker MSC dan J. Klemman, MSC.
  2.  Pada tanggal 21 April 1921 tibalah P. H. Croonen; P. H. Kapell (Jerman) dan P. H. Humburg (Jerman).
  3. Pada tanggal 11 Februari 1922 tibalah P. Spelz bersama para bruder: Br. H. Mulders; Br. Van den Linden; dan Br. Chr. Frederiks. Br. Van der Linden adalah tukang bangunan yang menjadi “raja los” tempat kian banyak alat rumah tangga, gedung sekolah dan gedung Gereja dikerjakan. Pastor Spelz menjadi tokoh terkenal di jalan-jalan wilayah- wilayah Tombariri, Langowan dan Kembes yang menjadi wilayah kerjanya. Pastor rajin sekali berkeliling mengunjungi umatnya.
  4. Bulan Desember 1922 datang lagi dua pastor yaitu P. H. Peeters dan P. M. Stigter. Sampai pada tahun 1922 ini berarti ada 9 imam dan 3 bruder MSC.
  5. Pada tanggal 14 Februari 1923 diterima berita yang mengejutkan bahwa Mgr. Vesters sudah diangkat menjadi Prefek misi di Rabaul. Dan pada tanggal 12 Juni 1923 diangkat prefek yang baru untuk Manado yaitu Mgr. Walter Panis.
  6. Pada tahun 1924 ini wilayah pelayanan meliputi 4 resort yaitu: 1. Resort Langowan dengan kedudukan imamnya di Tomohon; 2. Resort Kembes dengan kedudukan pastornya di Manado; 3. Resort Tonsea dengan kedudukan imamnya juga di Manado; 4. resort Tombariri dengan kedudukan imamnya di Woloan.
  7. Setiap tahun selalu terjadi perkembangan, perubahan dan perambatan. Keadaan pastor dalam perjalanan dinas terasa sulit sekali sebab setiap kali harus kembali ke posnya. Maka dimaksukkan permohonan kepada residen kolonial untuk para pastor itu bisa menetap di Kembes, Langowan, Tanawangko dan Lembean.
  8. Pada tanggal 18 Februari 1927: Langowan menjadi tempat kedudukan P. Spelz; Tanawangko menjadi tempat kedudukan P. Peeters; Lembean menjadi tempat kedudukan P. Stigter dan Kembes menjadi tempat keudukan P. Bröker, yang menjadi pastor tetap pertama di Kembes. Dan di Banggai juga diizinkan seorang pastor menetap di sana dan P. H Kapell pergi ke Banggai.
  9. Pada tanggal 26 Agustus 1928 wilayah Kembes mengadakan pesta gembira memperingati 50 tahun agama katolik berada dan merambat di daerah itu.
  10. Pada tanggal 3 April 1932 umat Kotamubagu bersukaria karena Gereja mereka yang pertama diberkati.
  11. Pada Vigili Pentekosta tanggal 14 Mei 1932 terjadi gempa besar dan di mana-mana orang lari keluar dari rumah. Di daerah Kakas hampir semua rumah rubuh habis. Banyak Gereja juga mengalami kerusakan besar dan patung-patung jatuh dan pecah. Syukurlah tidak ada korban dari para misionaris.
  12. Tanggal 26 Agustus 1932 adalah tanggal bersejarah yang sangat penting karena pada saat itu diberikan izin umum bahwa setiap pastor boleh tinggal di mana saja di seluruh karesidenan Manado; dan pada tanggal 15 Agustus 1933 izin itu diperluas untuk seluruh Sulawesi Utara.
  13. Tanggal 10 Februari 1934 Prefektur Sulawesi diangkat menjadi Vikariat Apostolik, sehingga Mgr. Panis (sebagai Prefek Apostolik) ditahbiskan menjadi uskup (menjadi Vicaris Apostolik) pada tanggal 24 Juni 1934 oleh Mgr. Y. Aerts dari Ambon dan didampingi oleh Kepala Central Missoe-Bureau (KWI) P. Batist MSC.
  14. Pada tanggal 27 April 1937 Vikariat Apostolik Sulawesi dibagi dua, yakni Vikariat Apostolik Manado dan Perfektur Apostolik Makassar. Misi bagian Sulawesi Selatan telah dipercayakan kepada Tarekat CICM. Sebagai Prefek Apostolik pertama diangkat Mgr. G. Martens dan dengan cepat mereka mengurus tenaga dengan cukup sehingga dengan cepat para MSC bisa ditarik dari Makassar.
  15. Dalam tahun-tahun berikutnya ditambah lagi tempat-tempat kedudukan para pastor sehingga mereka bisa menetap di tempat tersebut untuk melayani umat. Laikit pada tanggal 1 Maret 1934 pastornya P. Y. Rosmuller; Tompaso Baru pada tanggal 10 Juli 1935, pastornya Y. Hendriks; dan Amurang pada tanggal 27 Desember 1938, pastornya Y. Vermelis.

Pada tanggal 3 Januari 1961 ditetapkan Hirarki untuk seluruh Indonesia. Pada tanggal 2 Februari Mgr. N. Verhoeven menerima kabar dari Duta Vatikan di Jakarta bahwa Mgr. N. Verhoeven telah diangkat menjadi Uskup Manado dan P. Th. Moors diangkat oleh Uskup Manado menjadi Vikaris Jenderal.
Mengingat keadaan Uskup N. Verhoeven yang semakin tua, maka Monseigneur telah meminta kepada Roma seorang Uskup Pembantu. Pada tanggal 20 Mei 1967 dikabarkan dengan resmi dari Roma bahwa Vikaris Jenderal, Dr. Th. Moors diangkat menjadi Uskup Pembantu Manado bagi Mgr. N. Verhoeven. Pada tanggal 25 Juli 1967 Mgr. Th. Moors ditahbiskan menjadi Uskup Oleh Duta Vatikan dengan asisteni Mgr. Verhoeven dan kakaknya Mgr. Moors, Uskup Roermond (Belanda).
Dan pada tahun 1969 sudah diterima kabar dari Propaganda Fidei di Roma bahwa permohonan Uskup N. Verhoeven untuk berhenti dari jabatan uskup Manado telah dikabulkan pada tanggal 26 Juni 1969 dan bahwa Uskup Pembantunya telah diangkat menjadi Uskup Manado. Bulan September 1969 Mgr. N. Verhoeven berangkat ke negeri Belanda. Lalu Mgr. Moors memulai tugasnya sebagai uskup Manado dan mengangkat P. Yohanes Talibonso menjadi Vikaris Jenderal. Mgr. Th. Moors menjadi uskup Manado dari tanggal 26 Juni 1969 sampai dengan 29 Juni 1990.
Penggantinya adalah Mgr. Josef Theodorus Suwatan MSC, ditahbiskan menjadi Uskup Manado di Stadion Klabat, Manado. Mgr. Josef Suwatan MSC menjadi uskup Manado dari tanggal 29 Juni 1990 sampai dengan tanggal 8 Juli 2017. Penggantinya, Mgr. Benedictus Estephanus Rolly Untu, MSC ditahbiskan uskup di Lapangan Maesa Tondano pada 8 Juli 2017 di Stadion Maesa Tondano